diambil dari milis KRL-Mania,
untuk selalu mengingatkanku bahwa tak henti2 bersyukur kepada Allah dan berhenti mengeluh adalah satu2nya hal yang harus aku lakukan saat ini.
Kereta KRD (Kereta Rel Diesel), sering kupelesetkan menjadi Kereta Rakyat Djelata.
KRD adalah keretanya rakyat kecil, warnanya kusam, dan cukup tua usianya.
Aku menggunakannya ketika sekali jalan taripnya Rp 600 hingga terakhir hanya Rp 1.000.
Kereta ini sangat membantu masyarakat kecil, karena tarifnya yang murah meriah.
Suatu sore 'KRD-ku sayang' berjalan dari Stasiun Rancaekek.
Ketika kondektur memeriksa karcis, seorang Bapak pedagang cobek batu saat diminta karcisnya berkata:
"Maaf Pak, saya tidak punya uang untuk membeli karcis karena jualan seharian dagangannya tidak ada yang laku!".
Kondektur diam dan berlalu, seperti memahami himpitan bebannya.
Waktu itu harga karcis Rp. 1.000, benar-benar sangat murah untuk jarak puluhan kilometer.
Namun tidak untuk Bapak tersebut yang tidak mendapatkan penghasilan sama sekali.
Kulihat ada dua tumpuk cobek batu di dekat Bapak tadi duduk, dilantai dekat pintu kereta.
Segelas aqua yang baru saja kubeli kutawarkan kepadanya dan langsung diminum habis. Pemandangan sawah yang kami lewati sore itu cukup segar, karena padi di sawah sedang menghijau; namun Bapak tadi matanya menatap kosong ke arah pemandangan di luar.
Sementara itu, pedihnya aku membayangkan isteri dan anaknya yang menunggu di rumah sambil menunggu Bapak tersebut membawa uang hasil jualannya yang ternyata nol.
Padahal jualan cobek batu bukanlah pekerjaan yang ringan, seharian harus memikul cobek batu yang sangat berat tersebut dengan berjalan kaki keluar-masuk kampung.
Dan kalau tidak ada yang membeli, ah ... aku tak kuasa berandai-andai untuk melanjutkan ceritanya.
Dadaku turut merasa sesak.
Kutatap dalam-dalam wajah Bapak penjual cobek batu itu.
Terbaca jelas kegundahan dan kegalauan pikirannya.
Wajah lelahnya terlihat semakin kusut, matanya menerawang..........redup........, menghentak-hentak dinding nuraniku.
Semilir sejuk angin persawahan yang terbawa laju kereta, bahkan tak mampu menghapuskan kegalauan Bapak tadi.
Saat kutanya, rumahnya di daerah Padalarang (sekitar 60 km dari tempatnya menjajakan dagangannya).
Ketika aku hendak turun, kuberikan sedikit uang yang tersisa (mohon maaf sekali kalau disebutkan), kebetulan aku jarang membawa uang berlebih karena trauma pernah kecopetan HP dan dompet di kereta.
Ya Allah........ mata Bapak tadi.......... tak kuasa aku untuk menatapnya lama-lama.
Matanya mulai basah......, kemudian terucap syukur serta doa yang membuatku semakin terharu.
Aku turun di Stasiun Kiaracondong.
Dan ketika KRD-ku sayang kembali berangkat untuk melanjutkan perjalanan, dari pintu kereta Bapak penjual cobek batu tadi melambaikan tangannya.
Kubalas lambaian tangannya.
Ada sebuah kelegaan luar biasa dalam hatiku ketika kulihat sebuah senyuman mengembang dibibirnya.
Kepalaku yang sejak naik kereta terasa pening, tiba-tiba kini terasa ringan.
Sambil berjalan menyelusuri gang yang menuju pangkalan ojek, aku merenung.....
Seharian mencari nafkah tanpa se-senpun uang yang didapat, mungkin bukan hanya Bapak penjual cobek tersebut yang kebetulan saja aku menemuinya hingga bisa kudapat sebuah PR (Pengalaman Rohani) yang begitu berkesan.
Mungkin banyak'Bapak-Bapak' penjual lainnya yang mengalami nasib sama dengan Bapak tadi, namun hanya sedikit sekali yang bisa kuperbuat.
Di KRD.....Aku melihat sebuah realita kehidupan yang begitu nyata ada di depan mata, meminjam slogannya Telkomsel 'so close, so real'.
Membaca cerita itu, hati saya tersentuh, terbersit sebuah pertanyaan dalam pikiran saya, apa yang sudah saya perbuat untuk membantu orang di sekitarsaya?
Sesungguhnya Tuhan memberikan kita rejeki bukan untuk kita sendiri, tetapi sebenarnya kalau saja kita sadar, di dalam rejeki yang kita terima (yang terkadang sering kita hamburkan percuma dengan segala alasan untuk sekedar memanjakan diri sendiri) ada hak anak-anak yatim juga orang2 terlantar.
Semoga Tuhan sudi mengampuni diri ini yang sudah sedemikian lama menghamburkan rejeki dan menutup mata akan derita sekitarku.
Ternyata saya harus banyak lagi belajar tentang arti ikhlas... tentang arti berbagi dengan sesama.
Dengan secuil kata di email ini saya mengajak teman semua untuk dapat kiranya berkenan untuk sedikit saja mencoba untuk membuka mata hati kita.
Cobalah untuk mengingat-ingat, berapa banyak orang yang kita lihat sedang dalam kesusahan di perjalanan dari rumah ke kantor?
Berapa banyak pengamen jalanan yang kita temui?
Berapa banyak pengemis yang meminta-minta sedekah kepada kita tapi kita hanya melembaikan tangan atau bahkan membuang muka.....
Mengapa kita tega terhadap sesama kita?
Marilah kita coba untuk membantu mereka, tidak usah banyak2... cukup serela anda saja, kalau anda takut akan kriminalitas di jalan, tekanlah tombol pembuka jendela mobil anda sedikiiiiittttt saja dan ulurkan uang itu keluar...............kemudian ikhlaskanlah.....
Sering kita berkata, bahwa kita ikhlas akan sedekah yang kita berikan.
Tahukah anda apa arti ikhlas yang sesungguhnya?
Ingatkah anda berapa banyak yang anda buang di toilet tadi pagi, apa saja isinya?
Tentu tidak bukan, naaaaahhhh seorang sahabat pernah memberitahu saya bahwa itulah ikhlas yang sesungguhnya.
Terima kasih banyak anda telah sudi membaca email ini, mohon maaf sekiranya mengganggu waktu anda yang sangat berharga, semoga dapat bermanfaat untukmempertebal keimanan kita dan menjadikan kita lebih peduli terhadap sesama.
Jikalau tidak berkeberatan sudi kiranya untuk meneruskan email ini kepada rekan atau sanak famili anda.
Bayangkan betapa indah lingkungan kita, apabila kita perduli terhadap sesama.
Warmest Regards,
Bonnie Setiobudi
"the greatest thing you will ever learn in the world is to love and to beloved in return.."
(Ewan McGregor, Moulan Rouge)
1 comment:
nice story jeng, thanks udah dishare ...
insyaAllah kita selalu diingatkan utk bersyukur selalu ke Maha Yang Kuasa, dan berhenti mengeluh, amin.
btw, mana nih story of the museum tour-nya ? ;-)
Post a Comment