18 February 2008.
Back to my old habitat!
Ngantor lagi. Sementara Mufti masih di rumah, karena memang cutinya masih panjang, masih sampai Juli 2008 (tapi sekarang udah mengajukan permintaan aktif kembali di kantor).
Naik kereta 710 lagi, nge-bajaj atau nge-ojeg, pulang jam 1629, menjadi rutinitasku lagi. Balik lagi ke Biro Kepegawaian dan Hukum BPS yang sudah menjadi ’rumah kedua’ku dari tahun 2000.
Ketemu lagi dengan teman2 lama dan ada beberapa teman2 baru, saling bertukar kabar, makan siang di kantor.
Yah, gitu deh... ritme hidupnya back to monoton!
Wish me luck, wish me can survive!
Wednesday, February 27, 2008
Akhirnya lulus juga
Akhir January, sesuai waktu yang dijanjikan oleh pihak fakultas, paper terakhirku keluar nilainya. Yeaahhh... akhirnya lulus juga!
Kerja keras yang dari kursus di IALF, yang memaksaku harus bangun jam 4 tiap hari karena harus naik kereta ekonomi jam 0540 (kadang molor dan baru berangkat jam 06 kurang dikit) untuk bisa sampai di Manggarai jam 0630 untuk kemudian sambung bis/ojeg ke IALF untuk mengikuti kursus mulai jam 0700.
Siangnya juga harus pakai kereta ekonomi untuk pulang. Dan kegiatan itu berlangsung selama 6 bulan.
IAP di Melbourne Uni selama 6 minggu.
Dan masuk kuliah rutin setelahnya selama 1.5tahun.
Kerja otak yang sangat2 melelahkan.
And I’ve done it! I’ve done it and I’m so happy about finishing my study.
I would like to say thanks to:
God, who is always so very kind to me and always helps me and makes my wish come true.
My parents (papa, mama & mamah), for your love and kindness.
Mufti, thanks for all the great moments. Look how far we’ve came for 6.5 years!
Dhevi and Deana, you the reason I’m strong!
Seluruh keluarga dan teman2ku yang –haduh- daftarnya bakalan panjang banget deh kalo diuraikan satu persatu. Yang jelas, tanpa ada support dari semua orang di sekelilingku, aku bakal merasa merana seorang diri. Thank you for all of your supports and attentions, from the bottom of my heart, I must say that I really really really appreciate it!
Kerja keras yang dari kursus di IALF, yang memaksaku harus bangun jam 4 tiap hari karena harus naik kereta ekonomi jam 0540 (kadang molor dan baru berangkat jam 06 kurang dikit) untuk bisa sampai di Manggarai jam 0630 untuk kemudian sambung bis/ojeg ke IALF untuk mengikuti kursus mulai jam 0700.
Siangnya juga harus pakai kereta ekonomi untuk pulang. Dan kegiatan itu berlangsung selama 6 bulan.
IAP di Melbourne Uni selama 6 minggu.
Dan masuk kuliah rutin setelahnya selama 1.5tahun.
Kerja otak yang sangat2 melelahkan.
And I’ve done it! I’ve done it and I’m so happy about finishing my study.
I would like to say thanks to:
God, who is always so very kind to me and always helps me and makes my wish come true.
My parents (papa, mama & mamah), for your love and kindness.
Mufti, thanks for all the great moments. Look how far we’ve came for 6.5 years!
Dhevi and Deana, you the reason I’m strong!
Seluruh keluarga dan teman2ku yang –haduh- daftarnya bakalan panjang banget deh kalo diuraikan satu persatu. Yang jelas, tanpa ada support dari semua orang di sekelilingku, aku bakal merasa merana seorang diri. Thank you for all of your supports and attentions, from the bottom of my heart, I must say that I really really really appreciate it!
Ke Malang
Setelah segala sesuatunya di Depok sudah settle, kami sekeluarga memutuskan untuk pergi ke Malang, sebelum aku dan Mufti back to office dan Dhevi dan Deana masuk sekolah.
Kami menumpang pesawat Adam Air ke Surabaya. Pesawat sempat ditunda 2 jam dengan alasan pesawatnya lagi dipakai untuk melayani trayek perjalanan yang lain. Hmm, telat kok ya 2 jam. Ga professional banget deh.
Perjalanan Surabaya – Malang sudah berbeda dengan perjalanan yang pernah aku lalui bulan Mei 2006. Luapan lumpur Lapindo menghambat perjalanan kami di ruas jalan tol Porong. Itu menyebabkan si sopir harus mengambil jalan memutar ke kampung2 yang jalanannya sebenarnya hanya cukup untuk 1 mobil. Jadi kalo ada mobil dari arah yang berlawanan, yah, si sopir kudu extra hati2 dan melambatkan laju kendaraan. Alhasil, setelah 2.5jam kami baru sampai di Malang, padahal waktu normalnya cuma 1.5jam.
Haduh, kalo liat perkampungan yang tersulap jadi lautan lumpur, jadi kepikiran ama nasib para penduduk yang dulu tinggal di situ; yang notebene bukan orang2 kaya yang punya banyak pilihan untuk melakukan berbagai hal. Moga2 saja mereka bisa tetap bertahan hidup.
Di Malang, acaranya kebanyakan hanya di rumah Bango 15 aja. Males mau kemana2. Hari pertama ke makam Arwin, mengingatkanku pada kesedihan setahun yang lalu saat kakakku kecelakaan di laut Sendang Biru. Kunjungan ke rumah keluarga hanya kami lakukan ke rumah Om Ali.
Kami sempat juga ke Agro Wisata, tempat wisata di kota Batu yang bisa petik apel sendiri di kebunnya. Tapi ya ampuuun... itu tempat wisata sungguh2 mengecewakan. Secara acara memetik apel adalah komoditas yang dijual, seharusnya komoditas itu dikemas sedemikian rupa semenarik mungkin. Ternyata yang kami dapati hanyalah kebun apel yang berbuah kecil2 dan buat kami sih tidak layak di petik apalagi dimakan. Mau komplen? Halah... di Indonesia gitu lho... paling juga cuma dapet senyuman, ga dianggap masalah serius.
Setelah 8 hari kami menghabiskan waktu di Malang, tiba juga waktunya balik ke Depok. Kami memutuskan memakai penerbangan langsung dari Malang ke Jakarta.
Sehari sebelum pulang, Mas Haris (kakakku) nelfon dan mengabarkan tadi pagi pesawat Sriwijaya Air yang terbang dari Jakarta menuju Malang terpaksa mendarat darurat di Surabaya karena ada kerusakan mesin. Haduh, kok ya perasaanku jadi ga enak ya.
Hari Sabtu (26 January 2008), cuaca di Malang benar2 ga bersahabat. Hujan disertai angin. Sungguh cuaca yang ga nyaman untuk terbang.
Diantar tante Nuning ke Bandara, ternyata belum ada kepastian jam berapa pesawat dari Jakarta akan datang. Alhasil, setelah ditunda selama 2.5jam, pesawat kami alhamdullillah bisa berangkat.
Tetap perasaanku belum nyaman.
Suara mesin pesawat yang kasar, sound system yang hilang muncul sehingga pengumuman dari pramugari harus sering2 diulang (haduh, deg2an kan, sound system-nya aja tidak bisa berfungsi baik, apalagi mesin pesawat), beberapa kali mengalami guncangan di udara, dan landing yang kurang smooth, membuatku amat sangat bersyukur alhamdullillah ketika akhirnya bisa menghirup udara di luar pesawat.
Sepertinya untuk 1 atau 2 tahun ke depan, aku ga mau ke Malang pakai pesawat deh. Moga2 di masa yang akan datang, pelayanannya maskapai penerbangan bisa lebih baik dan tidak membuat jantung berdebar2.
Kami menumpang pesawat Adam Air ke Surabaya. Pesawat sempat ditunda 2 jam dengan alasan pesawatnya lagi dipakai untuk melayani trayek perjalanan yang lain. Hmm, telat kok ya 2 jam. Ga professional banget deh.
Perjalanan Surabaya – Malang sudah berbeda dengan perjalanan yang pernah aku lalui bulan Mei 2006. Luapan lumpur Lapindo menghambat perjalanan kami di ruas jalan tol Porong. Itu menyebabkan si sopir harus mengambil jalan memutar ke kampung2 yang jalanannya sebenarnya hanya cukup untuk 1 mobil. Jadi kalo ada mobil dari arah yang berlawanan, yah, si sopir kudu extra hati2 dan melambatkan laju kendaraan. Alhasil, setelah 2.5jam kami baru sampai di Malang, padahal waktu normalnya cuma 1.5jam.
Haduh, kalo liat perkampungan yang tersulap jadi lautan lumpur, jadi kepikiran ama nasib para penduduk yang dulu tinggal di situ; yang notebene bukan orang2 kaya yang punya banyak pilihan untuk melakukan berbagai hal. Moga2 saja mereka bisa tetap bertahan hidup.
Di Malang, acaranya kebanyakan hanya di rumah Bango 15 aja. Males mau kemana2. Hari pertama ke makam Arwin, mengingatkanku pada kesedihan setahun yang lalu saat kakakku kecelakaan di laut Sendang Biru. Kunjungan ke rumah keluarga hanya kami lakukan ke rumah Om Ali.
Kami sempat juga ke Agro Wisata, tempat wisata di kota Batu yang bisa petik apel sendiri di kebunnya. Tapi ya ampuuun... itu tempat wisata sungguh2 mengecewakan. Secara acara memetik apel adalah komoditas yang dijual, seharusnya komoditas itu dikemas sedemikian rupa semenarik mungkin. Ternyata yang kami dapati hanyalah kebun apel yang berbuah kecil2 dan buat kami sih tidak layak di petik apalagi dimakan. Mau komplen? Halah... di Indonesia gitu lho... paling juga cuma dapet senyuman, ga dianggap masalah serius.
Setelah 8 hari kami menghabiskan waktu di Malang, tiba juga waktunya balik ke Depok. Kami memutuskan memakai penerbangan langsung dari Malang ke Jakarta.
Sehari sebelum pulang, Mas Haris (kakakku) nelfon dan mengabarkan tadi pagi pesawat Sriwijaya Air yang terbang dari Jakarta menuju Malang terpaksa mendarat darurat di Surabaya karena ada kerusakan mesin. Haduh, kok ya perasaanku jadi ga enak ya.
Hari Sabtu (26 January 2008), cuaca di Malang benar2 ga bersahabat. Hujan disertai angin. Sungguh cuaca yang ga nyaman untuk terbang.
Diantar tante Nuning ke Bandara, ternyata belum ada kepastian jam berapa pesawat dari Jakarta akan datang. Alhasil, setelah ditunda selama 2.5jam, pesawat kami alhamdullillah bisa berangkat.
Tetap perasaanku belum nyaman.
Suara mesin pesawat yang kasar, sound system yang hilang muncul sehingga pengumuman dari pramugari harus sering2 diulang (haduh, deg2an kan, sound system-nya aja tidak bisa berfungsi baik, apalagi mesin pesawat), beberapa kali mengalami guncangan di udara, dan landing yang kurang smooth, membuatku amat sangat bersyukur alhamdullillah ketika akhirnya bisa menghirup udara di luar pesawat.
Sepertinya untuk 1 atau 2 tahun ke depan, aku ga mau ke Malang pakai pesawat deh. Moga2 di masa yang akan datang, pelayanannya maskapai penerbangan bisa lebih baik dan tidak membuat jantung berdebar2.
1 Januari 2008
Biasanya kalo awal tahun, aku selalu membuat resolusi.
Tapi karena begitu sibuknya, aku sampai ga kepikiran mau apa ya tahun ini.
2005 resolusinya dapet beasiswa. Alhamdullillah kesampaian.
2006 resolusinya pengen sekolah di Melbourne Uni. Kesampaian juga.
2007 resolusinya pengen dapet nilai H1. Kesampaian juga.
Selama 3 tahun terakhir ini, selalu saja resolusinya berhubungan dengan target2 sekolah dan alhamdullillah semuanya kesampaian.
Untuk yang 2008 ini, resolusiku sederhana saja... Aku mau bikin resolusi yang down to earth, yang ga neko2.
Secara pas di Melbourne berat badanku sempat naik drastis (akibat makan melulu di musim dingin, soalnya kalo ga makan ga bisa mikir), maka tahun 2008 ini aku berencana untuk bisa menurunkan berat badan, paling ga ya 5kg gitu deh.
Moga2 bisa ya...
Tapi karena begitu sibuknya, aku sampai ga kepikiran mau apa ya tahun ini.
2005 resolusinya dapet beasiswa. Alhamdullillah kesampaian.
2006 resolusinya pengen sekolah di Melbourne Uni. Kesampaian juga.
2007 resolusinya pengen dapet nilai H1. Kesampaian juga.
Selama 3 tahun terakhir ini, selalu saja resolusinya berhubungan dengan target2 sekolah dan alhamdullillah semuanya kesampaian.
Untuk yang 2008 ini, resolusiku sederhana saja... Aku mau bikin resolusi yang down to earth, yang ga neko2.
Secara pas di Melbourne berat badanku sempat naik drastis (akibat makan melulu di musim dingin, soalnya kalo ga makan ga bisa mikir), maka tahun 2008 ini aku berencana untuk bisa menurunkan berat badan, paling ga ya 5kg gitu deh.
Moga2 bisa ya...
Adaptasi lagi di Depok
Tepat jam 0050 (udah tanggal 31 December 2007), pesawat dari maskapai Singapore take off tepat waktu. Prediksi bahwa anak2 yang bakal merepotkan karena kami terbang malam, alhamdullillah tidak terjadi. Begitu duduk, Dhevi dan Deana langsung dapat mainan dan mereka asyik dengan mainannya. Terbang baru 30 menit, dapat snack dan juice. Seusai makan, Dhevi dan Deana sempat nonton Dora sebentar, dan kemudian baru bisa tidur.
5 jam kemudian, para pramugari sudah menyajikan sarapan untuk kami, dan 2 jam kemudian kami sampai di Singapore untuk transit 2 jam.
Waktu 2 jam tidak begitu terasa, karena ada fasilitas internet gratis di bandara. Sementara anak2 bisa lari2 kesana kemari sesuka hati mereka.
Sesuai waktu yang tertera pada tiket, kami terbang menuju Jakarta.
Sama seperti perjalanan dari Melbourne – Singapore, begitu duduk anak2 langsung dapat mainan dan breakfast (lagi!).
Tanpa delay dan on time, alhamdullillah kami sampai di Jakarta dengan selamat, tak kurang suatu apapun.
Sesampainya di Jakarta, kami langsung bisa merasakan udara panas, lembab dan lengket di sekujur kulit. Langit mendung tanpa ada hembusan angin. Mungkin cuma 27 derajat (compare to Melbourne yang saat summer bisa 42 derajat), tapi keringat yang keluar dari pori2 kulit membuat tubuh jauh dari rasa nyaman.
Tapi, anyway, welcome back to Jakarta!
Perjalanan Jakarta – Depok yang memakan waktu 2 jam, benar2 menyebalkan!
Karena Daud (kakaknya Mufti) yang menyetir mobil, sempat salah masuk jalan dan alhasil kena tilang. Walau Daud ngotot dan berdalih tidak ada papan penunjuk yang menyatakan mobil dilarang lewat, tetap saja uang Rp50ribu itu masuk ke celengan petugas kepolisian (apa lagi nyari bekal buat acara malam taun baru ya?).
Ah sudahlah, aku harus kembali mengingat2 segala kebiasaan yang ada di Indonesia, dan di urutan paling atas, harus diingat bahwa ‘uang adalah segalanya’.
Mungkin aku salah mengatakan bahwa polisi itu mata duitan, tapi yang jelas, uang Rp50rb itu telah keluar dari dompetku tanpa ada bon/nota/memo tanda terima, hanya supaya STNK mobil tidak ditahan oleh polisi dan mobil kami boleh lewat.
Sampai di Depok, duh senengnya liat rumahku lagi.
Rumah yang ada halamannya (compare to cumming street yang hanya flat dengan sedikit balkon), dan sepertinya hanya rumah inilah yang membuatku berkeinginan kuat untuk pulang kembali ke Depok.
Alhamdullillah rumahku dirawat rapi oleh om Joko dan tt Titik yang rela dan ikhlas menempati rumahku walau mereka dapat jatah rumah dinas militer. Hasilnya, aku ga perlu repot2 membersihkan rumah. Segala sesuatunya teratur rapi, bahkan tembok juga di-cat ulang dan jok kursi diganti (haduh, padahal ketika aku mau berangkat ke Melbourne, jok kursi itu juga sudah mulai rusak/robek akibat buat loncat2an Dhevi dan Deana).
Malam pertama tidur, masih berasa kurang nyaman. Apalagi pas jam 12 malam, bunyi petasan membahana di mana2. Oh iya ya, malam pergantian tahun sih, mungkin semua penduduk kampung di sekitarku pada menyalakan petasan dan membuat suasana berisik. Well, Happy New Year 2008!
5 jam kemudian, para pramugari sudah menyajikan sarapan untuk kami, dan 2 jam kemudian kami sampai di Singapore untuk transit 2 jam.
Waktu 2 jam tidak begitu terasa, karena ada fasilitas internet gratis di bandara. Sementara anak2 bisa lari2 kesana kemari sesuka hati mereka.
Sesuai waktu yang tertera pada tiket, kami terbang menuju Jakarta.
Sama seperti perjalanan dari Melbourne – Singapore, begitu duduk anak2 langsung dapat mainan dan breakfast (lagi!).
Tanpa delay dan on time, alhamdullillah kami sampai di Jakarta dengan selamat, tak kurang suatu apapun.
Sesampainya di Jakarta, kami langsung bisa merasakan udara panas, lembab dan lengket di sekujur kulit. Langit mendung tanpa ada hembusan angin. Mungkin cuma 27 derajat (compare to Melbourne yang saat summer bisa 42 derajat), tapi keringat yang keluar dari pori2 kulit membuat tubuh jauh dari rasa nyaman.
Tapi, anyway, welcome back to Jakarta!
Perjalanan Jakarta – Depok yang memakan waktu 2 jam, benar2 menyebalkan!
Karena Daud (kakaknya Mufti) yang menyetir mobil, sempat salah masuk jalan dan alhasil kena tilang. Walau Daud ngotot dan berdalih tidak ada papan penunjuk yang menyatakan mobil dilarang lewat, tetap saja uang Rp50ribu itu masuk ke celengan petugas kepolisian (apa lagi nyari bekal buat acara malam taun baru ya?).
Ah sudahlah, aku harus kembali mengingat2 segala kebiasaan yang ada di Indonesia, dan di urutan paling atas, harus diingat bahwa ‘uang adalah segalanya’.
Mungkin aku salah mengatakan bahwa polisi itu mata duitan, tapi yang jelas, uang Rp50rb itu telah keluar dari dompetku tanpa ada bon/nota/memo tanda terima, hanya supaya STNK mobil tidak ditahan oleh polisi dan mobil kami boleh lewat.
Sampai di Depok, duh senengnya liat rumahku lagi.
Rumah yang ada halamannya (compare to cumming street yang hanya flat dengan sedikit balkon), dan sepertinya hanya rumah inilah yang membuatku berkeinginan kuat untuk pulang kembali ke Depok.
Alhamdullillah rumahku dirawat rapi oleh om Joko dan tt Titik yang rela dan ikhlas menempati rumahku walau mereka dapat jatah rumah dinas militer. Hasilnya, aku ga perlu repot2 membersihkan rumah. Segala sesuatunya teratur rapi, bahkan tembok juga di-cat ulang dan jok kursi diganti (haduh, padahal ketika aku mau berangkat ke Melbourne, jok kursi itu juga sudah mulai rusak/robek akibat buat loncat2an Dhevi dan Deana).
Malam pertama tidur, masih berasa kurang nyaman. Apalagi pas jam 12 malam, bunyi petasan membahana di mana2. Oh iya ya, malam pergantian tahun sih, mungkin semua penduduk kampung di sekitarku pada menyalakan petasan dan membuat suasana berisik. Well, Happy New Year 2008!
Refleksi kehidupan di Melbourne
Duh, udah 2 bulan berlalu dari terakhir kali meng-update blog.
Terakhir cuman sempat menulis tentang hari2 terakhir di Melbourne yang memacu jantung bekerja ekstra. Mulai dari ribetnya hari2 menjelang submit paper terakhir; meyortir barang antara yang mau dibawa/dikirim ke Depok, dijual atau dibuang, yang sepertinya never ending story; ngurus kargo; ngurus2 pemutusan listrik, air, gas dan telefon; sampai urusan nutup rekening bank dan kartu kredit.
Itu ‘cuma’ urusanku aja.
Urusannya Mufti, Dhevi dan Deana juga ga kalah panjang.
Mufti yang harus mengajukan permohonan berhenti dan terpaksa juga harus cari ganti orang; ngurus2 rekening bank (juga); ngurus tax return (thanks God, untuk urusan ini udah diserahkan sepenuhnya ke Ken); ngurus jual beli mobil, termasuk nyari bengkel yang bisa sekalian ngurus surat layak jalan kendaraan; sampai berujung pada makan malam bersama bos & keluarganya.
Dhevi yang harus tampil di acara sekolah (baik group ataupun individu), untuk menyanyi, menari, dan bahkan untuk keyboard performance (halah, belajar keyboard juga cuma seminggu sekali itupun 30 menit aja, tetep kudu ikutan performance!).
Deana ga gitu ribet. Tapi secara sebelum pertemuan di session terakhir itu Deana ultah, maka aku minta gurunya untuk sekedar tiup lilin di sekolah,cuma sebagai pertanda Deana sudah 4 tahun. Di akhir session, idem dengan Dhevi, ada sebuah performance operet Natal di kindy. Menyanyi dan menari merupakan acara utama dalam acara tersebut yang ditutup dengan acara ramah tamah dengan guru dan sesama orang tua murid.
Dan untuk kami ber-4, segala riuh rendah dan suka duka hidup di Melbourne selama 19 bulan untukku (dan 17 bulan untuk Mufti, Dhevi dan Deana) diakhiri dengan acara farewell party yang diselenggarakan di rumah Melon oleh semua temen2 Law angkatan winter 2006 dan 2 orang teman dari fakultas lain. Sebagian perasaanku menyiratkan rasa senang, terharu dan bangga karena akhirnya semua masalah di Melbourne bisa aku lalui, sementara sebagian besar perasaanku yang lain menyimpan rasa sedih untuk meninggalkan indahnya masa2 sekolah. Juga terbesit rasa kasian buat anak2 karena udah kebayang bahwa di Indonesia mereka akan sekolah di bawah tekanan harus ini dan itu demi mewujudkan target sebuah kurikulum.
Setelah menjalani sekolah di luar negeri dengan membawa keluarga, ternyata bukanlah hal yang sulit, walaupun juga bukan hal yang mudah.
Sulit, karena aku dan Mufti harus bener2 saling menjaga dan mengurus anak2 kami tanpa bantuan orang lain; untuk segala hal. Tapi seiring berjalannya waktu dan karena telah terbiasa, semuanya itu ga jadi masalah. Malah kami merasa senang bisa sering2 kumpul ama anak2 dan tau bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dalam pengawasan kami. Kalau dulu sering dengar kata2 ’apa sih yang ga dikasih kalo buat anak’, nah, pada saat2 kami di Melbourne inilah kata2 itu bukan cuma sekedar menjadi pemanis bibir. Alhamdullillah, kami tidak hanya memberikan sandang, pangan dan papan yang layak bagi anak2 kami, tapi juga kami mampu memberikan hampir seluruh perhatian kami untuk anak2 kami. Karena, ternyata kehidupan kantoran di Jakarta membuat kami hanya memiliki sisa waktu yang tidak berkualitas untuk anak2. Dengan berbagai alasan terkadang kami sampai rumah dalam keadaan yang ’menyedihkan’. Capek (baik di jalan atau di kantor) adalah alasan yang seringkali terlontar ketika sebenarnya anak2 ingin mengobrol.
Kebayang deh, sepertinya kalau sudah sibuk ngantor, bakalan merindukan lagi masa2 seperti di Melbourne. Masa2 dimana harus bangun pagi2 dan harus ngurusin keperluan anak2 menjelang sekolah, masak, ke kampus, pulang kampus juga masih harus ngurusin rumah dan segala macemnya, dan malam hari masih harus baca buku/paper/jurnal. Masa2 yang penuh tekanan tapi juga sangat menyenangkan.
Hmm..., I really really gonna miss that moments. Although I may be too naïve to say that these were the best days of ours, but I think I will take a chance if God gives me another opportunity to repeat these moments.
Dan ketika hari mulai gelap di tanggal 30 December 2007, itulah menit2 terakhir kami di Melbourne. Aku merasa terharu ketika teman2 senasib seperjuanganku datang untuk menyampaikan selamat jalan dan semoga sukses di kehidupan selanjutnya. Duh, rasanya separuh hatiku tertambat di cumming street.
But live will go on, and I know that we all will be okay.
Good bye Melbourne, wish I could come back again someday!
Terakhir cuman sempat menulis tentang hari2 terakhir di Melbourne yang memacu jantung bekerja ekstra. Mulai dari ribetnya hari2 menjelang submit paper terakhir; meyortir barang antara yang mau dibawa/dikirim ke Depok, dijual atau dibuang, yang sepertinya never ending story; ngurus kargo; ngurus2 pemutusan listrik, air, gas dan telefon; sampai urusan nutup rekening bank dan kartu kredit.
Itu ‘cuma’ urusanku aja.
Urusannya Mufti, Dhevi dan Deana juga ga kalah panjang.
Mufti yang harus mengajukan permohonan berhenti dan terpaksa juga harus cari ganti orang; ngurus2 rekening bank (juga); ngurus tax return (thanks God, untuk urusan ini udah diserahkan sepenuhnya ke Ken); ngurus jual beli mobil, termasuk nyari bengkel yang bisa sekalian ngurus surat layak jalan kendaraan; sampai berujung pada makan malam bersama bos & keluarganya.
Dhevi yang harus tampil di acara sekolah (baik group ataupun individu), untuk menyanyi, menari, dan bahkan untuk keyboard performance (halah, belajar keyboard juga cuma seminggu sekali itupun 30 menit aja, tetep kudu ikutan performance!).
Deana ga gitu ribet. Tapi secara sebelum pertemuan di session terakhir itu Deana ultah, maka aku minta gurunya untuk sekedar tiup lilin di sekolah,cuma sebagai pertanda Deana sudah 4 tahun. Di akhir session, idem dengan Dhevi, ada sebuah performance operet Natal di kindy. Menyanyi dan menari merupakan acara utama dalam acara tersebut yang ditutup dengan acara ramah tamah dengan guru dan sesama orang tua murid.
Dan untuk kami ber-4, segala riuh rendah dan suka duka hidup di Melbourne selama 19 bulan untukku (dan 17 bulan untuk Mufti, Dhevi dan Deana) diakhiri dengan acara farewell party yang diselenggarakan di rumah Melon oleh semua temen2 Law angkatan winter 2006 dan 2 orang teman dari fakultas lain. Sebagian perasaanku menyiratkan rasa senang, terharu dan bangga karena akhirnya semua masalah di Melbourne bisa aku lalui, sementara sebagian besar perasaanku yang lain menyimpan rasa sedih untuk meninggalkan indahnya masa2 sekolah. Juga terbesit rasa kasian buat anak2 karena udah kebayang bahwa di Indonesia mereka akan sekolah di bawah tekanan harus ini dan itu demi mewujudkan target sebuah kurikulum.
Setelah menjalani sekolah di luar negeri dengan membawa keluarga, ternyata bukanlah hal yang sulit, walaupun juga bukan hal yang mudah.
Sulit, karena aku dan Mufti harus bener2 saling menjaga dan mengurus anak2 kami tanpa bantuan orang lain; untuk segala hal. Tapi seiring berjalannya waktu dan karena telah terbiasa, semuanya itu ga jadi masalah. Malah kami merasa senang bisa sering2 kumpul ama anak2 dan tau bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dalam pengawasan kami. Kalau dulu sering dengar kata2 ’apa sih yang ga dikasih kalo buat anak’, nah, pada saat2 kami di Melbourne inilah kata2 itu bukan cuma sekedar menjadi pemanis bibir. Alhamdullillah, kami tidak hanya memberikan sandang, pangan dan papan yang layak bagi anak2 kami, tapi juga kami mampu memberikan hampir seluruh perhatian kami untuk anak2 kami. Karena, ternyata kehidupan kantoran di Jakarta membuat kami hanya memiliki sisa waktu yang tidak berkualitas untuk anak2. Dengan berbagai alasan terkadang kami sampai rumah dalam keadaan yang ’menyedihkan’. Capek (baik di jalan atau di kantor) adalah alasan yang seringkali terlontar ketika sebenarnya anak2 ingin mengobrol.
Kebayang deh, sepertinya kalau sudah sibuk ngantor, bakalan merindukan lagi masa2 seperti di Melbourne. Masa2 dimana harus bangun pagi2 dan harus ngurusin keperluan anak2 menjelang sekolah, masak, ke kampus, pulang kampus juga masih harus ngurusin rumah dan segala macemnya, dan malam hari masih harus baca buku/paper/jurnal. Masa2 yang penuh tekanan tapi juga sangat menyenangkan.
Hmm..., I really really gonna miss that moments. Although I may be too naïve to say that these were the best days of ours, but I think I will take a chance if God gives me another opportunity to repeat these moments.
Dan ketika hari mulai gelap di tanggal 30 December 2007, itulah menit2 terakhir kami di Melbourne. Aku merasa terharu ketika teman2 senasib seperjuanganku datang untuk menyampaikan selamat jalan dan semoga sukses di kehidupan selanjutnya. Duh, rasanya separuh hatiku tertambat di cumming street.
But live will go on, and I know that we all will be okay.
Good bye Melbourne, wish I could come back again someday!
Subscribe to:
Posts (Atom)